CONTOH PROPOSAL PENELITIAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam dari sabang sampai merauke. Adat istiadat tersebut sangat berbeda satu sama lainnya. Sejak negara ini memproklamirkan kemerdekaannya maka, Indonesia terbentuk menjadi negara kesatuan dengan memiliki satu sistem hukum yang berlaku secara Nasional. Yang mana sistem hukum itu merupakan salah satu alat pengitegrasi bangsa ini.
Sistem hukum Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah sistem hukum yang masih berkiblat kepada negara Belanda yaitu sistem hukum Eropa Continental atau sistem hukum Civil Law. Bukti adanya sistem hukum ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) yang sampai saat ini dianggap masih tetap berlaku.. Hal ini tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, pasal 1 aturan peralihan yang berbunyi : “ segala peraturan perundang-undangan yang masih ada dianggap tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar 1945”
Terlepas daripada sistem hukum positif yang terulis diatas ada sistem hukum lain yang dianggap tetap berlaku adalah sistem hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Namun apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan hukum nasional maka dianggap tetap berlaku, namun demikian sebaliknya jika hukum adat itu dianggap bertentangan dengan hukum positif atau hukum nasional, maka ketentuan hukum tertulislah yang berlaku. Hal ini seperti yang terdapat pada salah satu suku di kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan.
Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik, namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian tidak banyak masyarakat Maluku yang mengetahui hal tersebut. Tradisi ini baru tercium khalayak ramai setelah terjadinya kejadian tahun 2005 silam. Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi Suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe.
Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka. Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon Sounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Bunyi pasal 340 KUHP : “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) : “ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan
Didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana tersirat dalam pasal tersebut diatas sangat jelas sekali bahwa para pelaku yang melakukan pembunuhan dalam hal ini adalah pembunuhan berencana, maka akan dipidana dengan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Namun satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa ketiga pelaku tersebut adalah warga masyarakat yang tidak tahu bahwa tindakan mereka telah melanggar ketentuan hukum pidana, hukum yang dianggap tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Hakim mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi hakim bukan corong undang-undang. Hakim harus mengikuti, memahami hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum kebiasaan/hukum adat/ atau hukum tidak tertulis. Sebagaimana tertera dalam pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa :
“ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
Dalam realiatanya sangat disayangkan karena pada praktiknya hakim di Indonesia umumnya hanya menjadi corong undang-undang. Kebanyakan hakim selalu berpandangan positivisme bahwa apa yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang hukum, dalam hal ini adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga terkadang apa yang menurut hukum adat itu merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata hal tersebut telah melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan peraturan peundang-undangan.
Melihat pada kondisi demikian tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para penegak hukum terutama hakim, agar dalam memutus perkara perlu lebih objektif lagi, karena seperti pada upacara adat penggal kepala manusia oleh masyarakat suku Naulu merupakan suatu hal yang sakral, dan merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama yang dilakukan secara turun-temurun. Dan ketika para pelaku tersebut divonis hukuman mati merupakan suatu hal yang menurut penulis merupakan keputusan yang kurang memenuhi rasa keadilan pada masyarakat Naulu karena suku ini terbilang masih asing dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama mengenai hukum itu sendiri. Karena dengan vonis pidana mati itu sangatlah tidak tepat karena seharusnya suku Naulu ini harus diberi pemahaman dan pengertian tentang hukum itu agar terciptanya kesadaran hukum diantara mereka.
Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim yang baik haruslah dalam memutus perkara seyogyannya harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengetahui mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan melihat latar belakang tersebut diatas hal ini penulis sangat tertarik untuk membahas masalah ini dengan mengambil judul “ Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu Di Kabupaten Maluku Tengah” (Suatu Tinjauan Sosiologis )
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pkok yang akan diteliti adalah :
1. Bagaimanakah Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu Tersebut Jika Dilihat Dari Kacamata Sosiologis ?
2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap para pelaku ( pemenggal kepala manusia )?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan kepala manusia tersebut tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses penegakkan hukum pidana terhadap Upacara Adat penggal kepala manusia Suku Naulu tersebut jika dilihat dari kacamata sosiologis
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap para pelaku.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan kepala manusia tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Ø Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi dalam bidang hukum pidana terkait dengan upacara adat penggal kepala yang terjadi pada suku Naulu. Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin mengetahui tentang upacara adat penggal kepala pada masyarakat
Ø Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara mendalam tentang penegakkan hukum pidana berkaitan dengan masalah yang penulis utarakan diatas.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana khususnya hakim dalam pengambilan keputusan bila nantinya menghadapi kasus yang serupa.
E. KERANGKA TEORI
Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi. Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas ( berupa hukuman ) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.[1]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.[2]
Berbicara tentang penegakkan hukum pidana ada beberapa teori yang menyertainya antara lain : [3]
1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan).
2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.
3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.
Berdasarkan pada teori ini sebenarnya tujuan dari pada penegakkan hukum pidana tidak lain adalah untuk memeberikan hukuman pidana kepada seseorang tidak semata-mata karena pelakunya telah melakukan kejahatan, tetapi juga mencegah terjadinya kejahatan itu sendiri.
Tujuan hukum pidana sebagaimana disebut diatas adalah merupakan sumber hukum tertulis atau hukum yang sifatnya modern, namun selain hukum tertulis itu ada sumber hukum tidak tertulis yang merupakan pedoman hidup masyarakat adalah hukum adat. Dan didalam peraturan perundang-undangan hukum adat diakui dan dijadikan sumber hukum tidak tertulis.
Von Savigny mengatakan bahwa terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu. [4]
Lebih lanjut Eugen Ehrlich dalam teorinya menyatakan bahwa :[5]
“hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat da menjadi tatanan yang efektif . lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara. Ia tergantung pada kompetensi penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat diatur oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Inilah living law.Hukum sebagai norma-norma hukum” (Rechtsnormen).
Dalam proses penegakkan hukum banyak faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Robert. B. Siedman mengemukakan teorinya tentang faktor-faktor bekerjanya hukum yaitu : [6]
Bekerjanya hukum menurut Siedman ini menyatukan tiga kekuatan yaitu kekuatan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang-undang dalam hal ini adalah eksekutif dan keuatan sosial lain yaitu pemegang peran atau masyarakat yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum masyarakat.
Hukum sebagai sistem tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure). Sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman bahwa efektifitas hukum itu dipengaruhi oleh tiga faktor penting antara lain: [7]
1. Substansi hukum
2. Srtuktur hukum
3. Cultur hukum
Ketiga faktor ini sangat tergantung satu sama lainnya, karena apabila substansi hukumnya sudah baik harus didukung oleh struktur hukum yang baik pula, demikian juga apabila culutur hukum sangat mempengaruhi dua faktor yang lainnya. Karena faktor cultur juga melahirkan apa yang dinamakan dengan kesadaran hukum.
Berl Kutchinky telah mengembangkan suatu teori mengenai kesadaran hukum, yang sebenarnya merupakan penerapan dari teori-teori yang mula-mula diketengahkan oleh Adam Podgorecki.:[8]. Dalam teorinya Kutschinky, mengatakan bahwa kesadaran hukum yaitu variabel yang berisi 4 komponen yaitu:
- Komponen Legal Awareness yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori residu semua orang dianggap tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka perlu Legal Awareness.
- Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi dari pada peraturan hukum, mengetahui substansi dari UU.
- Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah memberikan apressiasi & memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa dan seterusnya )
4. Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi perilakunya sesuai hukum, begitu juga banyak orang tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum. Bahwa orang yang memiliki kesadaran hukum yang rendah, misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang tertinggi skor 7-10 dst. Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat ketentuan berikutnya.Hal yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi syarat. Asumsinya hal di atas dalam keadaan normal ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan, pendidikan hukum dan seterusnya. [9]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Penegakkan Hukum
Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Menurut Satjipto Rahardjo,
“penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.”[10]
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:
“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”[11]
Menurut Jimly Ashhidiq[12]
““Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.”
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). [13]
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusankeputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis)hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersahaja.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat membina penjahat dengan cara melakukan pembinaan di lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberpaiki terpidana di lembaga pemasyarakatan tersebut. Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para pelaku kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Sementara itu, dalam kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara umum masih menganut konsep hanya menghukum terpidana di lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat.
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.[14]
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,yaitu kepastian hukum ( Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan keadian ( Gerechtigkeit ).[15] Ketiga konsep ini pertama kali dikemukan oleh Gustav Radbruch[16]
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa:
“Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat mundus ( meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat megharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum harus member manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.” [17]
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Keadilan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[18]
Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya( Penjelasan UU No.48/ 2009 )
Oliver Holmes dalam teorinya mengatakan bahwa:[19]
“aturan hukum bukanlah sebuah poros keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan dunia yang begitu kompleks. Dan lagi pula kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Lebih lanjut Holmes mengatakan seorang pelaksana hukum ( hakim ) sesungguhnya mengahadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Sering ia menghadapi dua bahkan lebih kebenaran yang seolah meminta kepastian mana yang lebih unggul dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya adalah kebenaran versi aturan hukum. Tidak jarang, bahkan amat sering, kebenaran-kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil, ketimbang kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus memenangkan kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi."
II. Tinjauan Umum Tentang Pidana
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya. [20] Menurut
Satochid Kartanegara,[21] bahwa :
“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau pende-ritaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1) Jiwa manusia (leven);
2) Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3) Kehormatan seseorang (eer);
4) Kesusilaan (zede);
5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6) Harta benda/kekayaan (vermogen). “
Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
Menurut van Hamel: [22]
“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” (suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.)
Menurut Simons: [23]
“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (artinya: suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.)
Sedangkan Menurut Sudarto:[24]Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dan oleh Roeslan Saleh : [25]Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Menurut Ted Honderich:[26] Punishment is an authority‟s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence. (artinya: pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman [sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan] yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).
Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: [27]
1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa “
“pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan”.[28]
Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan adalah sebagai berikut[29]:
1. Kesalahan pembuat
2. Motif dan tujuan dilakukan tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pembuat;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6. Sikap dan tindakan pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan
10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10 :
1. Pidana pokok :
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
e) Pidana tutupan
2. Pidana tambahan :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
III. Konsep Pembunuhan atau Pembunuhan Dalam Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu
Seperti sudah disinggung pada latar belakang bahwa salah satu suku di kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan. Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik, namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Konsep penggal kepala dalam upacara adat suku naulu dalam pandangan hakim pengadilan negeri Maluku Tengah merupakan konsep pembunuhan. Dan Pembunuhan tersebut adalah merupakan pembunuhan yang terencana sehingga melanggar ketentuan
Pasal 340 KUHP;
“ barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) :
“ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”
BAB III
METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum didalam masyarakat/Socio Legal Research.[30]. Yaitu menganalisa tentang penegakkan hukum pidana atas putusan hakim pengadilan negeri Masohi pada penjatuhan pidana mati terhadap suku Naulu yang melakukan upacara adat penggal kepala manusia dari sisi sosiologis.
2. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :
a) Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris sebagai perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku verbal perilaku nyata, maupun perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil perilaku atau catatan-catatan/ arsip.[31] Data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu dengan cara wawancara langsung dan observasi atau pengamatan secara langsung dilapangan
b) Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. [32].Data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi dan penelusuran literatur yang berkaitan dengan peneggakkan hukum pidana dan teori yang mendukungnya.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu autoritas mutlak dan mengikat. Berupa ketentuan hukum yang mengikat seperti, peraturan perundang-undangan, catatan resmi dan lain-lain yang berkaitan dengan penegakkan hukum pidana.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap/ mengenai bahan hukum primer. Seperti doktrin, jurnal, karya ilmiah dibidang hukum dan lain-lain.
c. Bahan hukum tersier ( non hukum) adalah bahan hukum yang relevan seperti kamus hukum, ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih relevan.
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sepa Kabupaten Maluku Tengah dan Pengadilan Negeri Masohi, Kabupaten Maluku Tengah
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer dilakukan dengan wawancara langsung kepada hakim pengadilan negeri Maluku Tengah dan pengamatan secara langsung pada masyarakat adat setempat. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung
Arief, Barda Nawawi, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. BPUNDIP, Semarang
Kansil, CST, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta,
Kholiq, M.Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Lamintang, P.A.F. 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung
Mahmud Marzuki, Peter, 2005.Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum Dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 1993,Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta
Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta
Salman, Otje, 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung
Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Suharto, dan Efendi Junaidi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta
Sunarso ,Siswantoro, 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tanya, Bernard L, Simanjuntak, Yoan, & Hage, Markus, Y. 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta
Taufik Makarao, Muhammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Kencana, Yogyakarta
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang
Sumber Lain
Ashhidiq, Jimly, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com
Bemmelen, .M. van, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, Binacipta, Bandung
Kartanegara, Satochid, 1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V,www.google.com
Esmi Warassih, 2010, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Magister Hukum UNSOED, Purwokerto,
Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Anonim, 2009
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
[1] Suharto, dan Junaidi Efendi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta.hal.25-26
[2] M.Abdul, Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hal.15
[3] C.S.T.Kansil, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, hal.97
[4] Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak, & Markus, Y. Hage, 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta. Hal.103
[5] Ibid. hal.142
[6] Esmi Warassih, 2010, Bahan Kuliah Sosilogi Hukum, Magister Ilmu Hukum UNSOED, Purwokerto, hal.4
[7] H. Syafruddin Kalo, 2010, Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran, www. google.com. hal.1
[9] Anonim, 2009, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, hal.24
[10] Satjipta Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1983, hal 24
[11] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hal 5.
[12] Jimly Ashhidiq, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com
[13] Ibid,
[14] Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hal. 142.
[15] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal.207
[16] Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal.21
[17] Sudikno, Op.Cit, hal.208
[18] Ibid, hal.21
[19] Sudikno, Op.Cit. hal.166
[20] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.
[21] Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal. 275-276.
[23] Ibid., h. 35.
[24] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2.
[25] Ibid.
[26] Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 18
[27] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 4.
[28] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 36
[29] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. BPUNDIP.Semarang 2000 hal, 147-148
[30]Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.hal.42
[31] Peter Mahmud Marzuki, 2005.Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, Jakarta, hal.141