TUGAS 6 ETIKA DALAM AUDITING
Kepercayaan
Publik
Dalam beberapa waktu terakhir, isu tentang kepercayaan publik (public trust) di negeri ini kembali merebak dan terus menjadi sorotan banyak pihak mulai dari para politisi, akademisi, sampai para pelaku bisnis professional. Sorotan mengenai kepercayaan publik pada awalnya memang seolah hanya tertuju pada kinerja pelayanan para petinggi negara saja. Tetapi dalam perkembangannya, ternyata perhatian mengenai hal itu juga merambah pada kepentingan pragmatis suatu korporasi. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau kini banyak perusahaan, terutama yang sudah ‘Go Public’, mulai merasakan pentingnya menjaga image agar kepercayaan publik terkait dengan produknya, kinerja keuangannya, kepeduliannya pada lingkungan atau bahkan pada figur para pemimpinnya dapat terjaga. Lebih lanjut, dorongan yang kuat di kalangan pelaku bisnis untuk memperoleh penilaian atau rating yang bagus yang dikeluarkan oleh suatu lembaga penilai tertentu juga mengilustrasi adanya kebutuhan akan pengakuan atau keberterimaan massa pada suatu produk atau perusahaan.
Dalam beberapa waktu terakhir, isu tentang kepercayaan publik (public trust) di negeri ini kembali merebak dan terus menjadi sorotan banyak pihak mulai dari para politisi, akademisi, sampai para pelaku bisnis professional. Sorotan mengenai kepercayaan publik pada awalnya memang seolah hanya tertuju pada kinerja pelayanan para petinggi negara saja. Tetapi dalam perkembangannya, ternyata perhatian mengenai hal itu juga merambah pada kepentingan pragmatis suatu korporasi. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau kini banyak perusahaan, terutama yang sudah ‘Go Public’, mulai merasakan pentingnya menjaga image agar kepercayaan publik terkait dengan produknya, kinerja keuangannya, kepeduliannya pada lingkungan atau bahkan pada figur para pemimpinnya dapat terjaga. Lebih lanjut, dorongan yang kuat di kalangan pelaku bisnis untuk memperoleh penilaian atau rating yang bagus yang dikeluarkan oleh suatu lembaga penilai tertentu juga mengilustrasi adanya kebutuhan akan pengakuan atau keberterimaan massa pada suatu produk atau perusahaan.
Memang benar bahwa membangun
kepercayaan publik untuk sesuatu yang baru saja dimulai akan sangat jauh
berbeda dengan upaya membangun kembali kepercayaan untuk sesuatu yang pernah
ada, namun misalnya saja pernah mengalami perubahan atau pengrusakan karena
adanya alasan satu dan lain hal. Terlepas dari alur mana yang akan dibangun,
arah yang akan dicapai adalah sama, yaitu membangkitkan keyakinan (belief)
atas keputusan yang diambil untuk keberlanjutan atau kesinambungan suatu
entitas tertentu. Itu sebabnya, menggagas tentang kepercayaan publik pada
prinsipnya dapat dimulai dengan mempertanyakan kembali atas janji yang pernah
diungkapkan oleh seseorang atau suatu komitmen yang dibangun oleh institusi.
Toleransi dimungkinkan saja terjadi tetapi tentunya dengan terlebih dahulu
mempertimbangkan faktor rasionalitas terbatas yang terdapat dalam diri para
pengambil keputusan.
Dalam kaitannya dengan kepentingan
nasional, mungkin masih segar ingatan di benak kita semua bahwa pemimpin negara
ini pernah berjanji untuk membawa bangsa Indonesia menuju pada tingkatan peradaban
yang maju baik dari sisi sosial maupun ekonomi pada tahun 2030. Visi
jangka panjang yang sudah digulirkan secara formal memang bukan lagi hanya
sekedar sebuah janji semata, namun itu juga sebagai pegangan dasar bagi para
pengambil keputusan dalam menata dan mengalokasi sumberdaya secara
optimal. Hal itu pula yang mendasari mengapa membangun kepercayaan publik
lebih merupakan upaya kognitif terstruktur agar seseorang bisa memberi
penilaian terhadap unjuk kerja yang dilakukan oleh orang lain, kelompok atau
bahkan suatu lembaga secara fair. Makna perseptual yang terkandung pada
gilirannya mensyaratkan ketersediaan ukuran baku yang dapat ditelusur dan dapat
diyakini dasar pemikirannya.
Upaya Multidimensi
Diskusi panjang mengenai makna dasar kepercayaan publik dalam suatu korporasi masih saja berkembang di bidang Manajemen. Debat yang terjadi kerapkali bermula karena adanya pihak yang menganut prinsip linearitas dan hanya menerapkan pendekatan tunggal dalam memandang fenomena kontekstual yang ada. Padahal, kepercayaan publik pada dasarnya lebih bersifat multidimensional yang membutuhkan integrasi pendekatan. Sebagai ilustrasi, pendekatan ekonomis yang selalu berupaya menempatkan risiko persepsian (perceived risk) sebagai konsekuensi atas keputusan seseorang dalam menaruh kepercayaan pada orang lain atau berharap memperoleh kemanfaatan dari interaksi yang dibangunnya. Kalkulasi terhadap besaran risiko itu lah yang kemudian dipergunakan sebagai basis untuk menentukan ekspektasi seseorang atas manfaat yang dapat diperoleh dari keputusan yang diambilnya. Pendekatan semacam ini tidak sepenuhnya bisa menjawab permasalahan tentang adanya fenomena ketidak-kepercayaan akibat pergeseran perilaku masyarakat itu sendiri yang terjadi pada skala yang besar. Sama halnya dengan hal pendekatan psikologi sosial yang menempatkan kepercayaan sebagai tendensi untuk melakukan pengalihan sesuatu pada pihak lain juga mengandung keterbatasan terutama dalam hal penilaian terhadap imbas kelembagaan yang mungkin muncul.
Diskusi panjang mengenai makna dasar kepercayaan publik dalam suatu korporasi masih saja berkembang di bidang Manajemen. Debat yang terjadi kerapkali bermula karena adanya pihak yang menganut prinsip linearitas dan hanya menerapkan pendekatan tunggal dalam memandang fenomena kontekstual yang ada. Padahal, kepercayaan publik pada dasarnya lebih bersifat multidimensional yang membutuhkan integrasi pendekatan. Sebagai ilustrasi, pendekatan ekonomis yang selalu berupaya menempatkan risiko persepsian (perceived risk) sebagai konsekuensi atas keputusan seseorang dalam menaruh kepercayaan pada orang lain atau berharap memperoleh kemanfaatan dari interaksi yang dibangunnya. Kalkulasi terhadap besaran risiko itu lah yang kemudian dipergunakan sebagai basis untuk menentukan ekspektasi seseorang atas manfaat yang dapat diperoleh dari keputusan yang diambilnya. Pendekatan semacam ini tidak sepenuhnya bisa menjawab permasalahan tentang adanya fenomena ketidak-kepercayaan akibat pergeseran perilaku masyarakat itu sendiri yang terjadi pada skala yang besar. Sama halnya dengan hal pendekatan psikologi sosial yang menempatkan kepercayaan sebagai tendensi untuk melakukan pengalihan sesuatu pada pihak lain juga mengandung keterbatasan terutama dalam hal penilaian terhadap imbas kelembagaan yang mungkin muncul.
Polemik mengenai sudut pandang itu
lah yang pada gilirannya memunculkan gagasan perlunya menempuh pendekatan yang
terintegratif dan bersifat multidimensi untuk mengakomodasi keterbatasan
pendekatan yang selama ini berkembang. Pendekatan yang berorientasi pada
keluaran (output) sebagai ukuran capaian kinerja yang terukur dengan
standar fisik jelas tidak bisa sepenuhnya mengadomodasi kepentingan masyarakat
yang menempatkan kualitas proses sebagai penentu dalam membangun interaksi
antar sub-sistem untuk mewujudkan kepercayaan publik. Padahal, kalau dicermati
lebih jauh, pendekatan output dan proses itu pada dasarnya tidak saling
meniadakan tetapi justru saling melengkapi. Argumen yang dikemukakan oleh
Mesquita (2007) yang dipublikasikan dalam Academy of Management Review, Vol.
32., No.1 memperkuat proposisi bahwa pendekatan terintegratif kini dibutuhkan
untuk dapat memahami kompleksitas dan dinamika membangun kepercayaan publik.
Pada tingkatan individual,
kepercayaan sangat ditentukan pada kecocokan komposisi dari elemen-elemen dasar
pembentuknya yaitu: adanya kemampuan (ability) dan kompetensi seseorang
untuk melakukan tugas-pekerjaan yang diembannya; kepedulian dan perhatian untuk
melakukan sesuatu; dan integritas sesorang terhadap suatu keputusan yang
diambil merupakan hal yang mendasar bagi pembentukan faktor kepercayaan publik
terhadap figur tertentu.Itu pula yang mendasari mengapa pendekatan multidimesi
dirasa menjadi penting maknanya untuk dapat memahami kompleksitas isu yang
berkembang dan mencari alternatif penyelesaian yang dapat mengakomodasi ragam
kepentingan dan mengurangi unsure subyektifitas dalam memberikan suatu
penilaian. Membangun kepercayaan publik memang agak sulit untuk bisa
dipaksakan, tetapi bukan mustahil akan terbentuk secara natural seperti halnya sebuah
tanaman yang difasilitasi untuk tumbuh dan pada akhirnya berbunga atau berbuah
dengan berjalannya waktu. Ketetapan untuk menerapkan prinsip transparansi
mungkin menjadi awal dari proses panjang untuk mendapatkan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, tidak aneh untuk
dikatakan bahwa mengelola kepercayaan dalam bisnis adalah suatu proses dinamis
yang membutuhkan keteladanan dari para pemimpinnya terutama dalam memegang
janji dan perilaku konsisten yang diembannya. Kalau saja hal itu dijaga,
maka sorotan masyarakat terhadap rentetan kejadian memilukan yang menimpa
perusahaan-perusahaan di bidang transportasi (darat, laut, dan udara) ataupun
pada bidang lain tidak serta merta direspon secara sempit. Perhatian masyarakat
terhadap aspek-aspek keselamatan, keamanan dan kenyamanan memang ternyata tidak
dapat dengan mudah diselesaikan dengan hanya menyalahkan satu pihak saja dan
menjadikannya sebagai ‘kambing hitam’ atas fenomena tragis yang sudah terjadi.
Harapannya adalah kepercayaan publik yang mulai kembali terbentuk di
akhir kuartal pertama di tahun 2007 ini sedapat mungkin tetap dijaga agar
perjalanan bisnis di waktu mendatang dapat dilalui dengan sempurna.
1.
Tanggung
Jawab Auditor kepada Publik
Profesi akuntan di dalam
masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara berjalannya
fungsi bisnis secara tertib dengan menilai kewajaran dari laporan keuangan yang
disajikan oleh perusahaan. Ketergantungan antara akuntan dengan
publik menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Dalam
kode etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap
klien yang membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap
publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan
institusi yang dilayani secara keseluruhan. Publik akan mengharapkan akuntan
untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan integritas, obyektifitas, keseksamaan
profesionalisme, dan kepentingan untuk melayani publik. Para akuntan diharapkan
memberikan jasa yang berkualitas, mengenakan jasa imbalan yang pantas, serta
menawarkan berbagai jasa dengan tingkat profesionalisme yang tinggi. Atas
kepercayaan publik yang diberikan inilah seorang akuntan harus secara
terus-menerus menunjukkan dedikasinya untuk mencapai profesionalisme yang
tinggi.
Justice Buger mengungkapkan
bahwa akuntan publik yang independen dalam memberikan laporan penilaian
mengenai laporan keuangan perusahaan memandang bahwa tanggung jawab kepada
publik itu melampaui hubungan antara auditor dengan kliennya. Akuntan publik
yang independen memiliki fungsi yang berbeda, tidak hanya patuh terhadap para
kreditur dan pemegang saham saja, akan tetapi berfungsi sebagai ”a public
watchdog function”. Dalam menjalankan fungsi tersebut seorang akuntan harus
mempertahankan independensinya secara keseluruhan di setiap waktu dan memenuhi
kesetiaan terhadap kepentingan publik. Hal ini membuat konflik kepentingan
antara klien dan publik mengenai konfil loyalitas auditor.
Hal serupa juga diungkapan oleh Baker
dan Hayes, bahwa seorang akuntan publik diharapkan
memberikan pelayanan yang profesional dengan cara yang berbeda untuk
mendapatkan keuntungan dari contractual arragment antara akuntan publik dan
klien.
Ketika auditor menerima penugasan audit
terhadap sebuah perusahaan, hal ini membuat konsequensi terhadap auditor untuk
bertanggung jawab kepada publik. Penugasan untuk melaporkan kepada publik
mengenai kewajaran dalam gambaran laporan keuangan dan pengoperasian perusahaan
untuk waktu tertentu memberikan ”fiduciary responsibility” kepada
auditor untuk melindungi kepentingan publik dan sikap independen dari klien
yang digunakan sebagai dasar dalam menjaga kepercayaan dari publik.
3.Tanggung Jawab Dasar Auditor
The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices
Board, ditahun 1980, memberikan ringkasan (summary) tanggung jawab auditor:
- Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan. Auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
- Sistem Akuntansi. Auditor harus mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
- Bukti Audit. Auditor akan memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional.
- Pengendalian Intern. Bila auditor berharap untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
- Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan. Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.
Independensi Audit
Dalam melaksanakan proses audit, akuntan publik memperoleh kepercayaan
dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran
laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam
memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, auditor
harus bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan
keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan publik itu sendiri.
Penilaian masyarakat atas independensi auditor independen bukan pada diri
auditor secara keseluruhan. Oleh karena itu, apabila seorang auditor independen
atau suatu Kantor Akuntan Publik lalai atau gagal mempertahankan sikap
independensinya, maka kemungkinan besar anggapan masyarakat bahwa semua akuntan
publik tidak independen. Kecurigaan tersebut dapat berakibat berkurang atau
hilangnya kredibilitas masyarakat terhadap jasa audit profesi auditor
independen.
Supriyono (1988)
membuat kesimpulan mengenai pentingnya independensi akuntan publik sebagai
berikut.
1)
Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi akuntan
publik untuk memulai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada
pemakai informasi.
2)
Independensi diperlukan oleh akuntan publik untuk memperoleh kepercayaan
dari klien dan masyarakaat, khususnya para pemakai laporan keuangan.
3)
Independensi diperoleh agar dapat menambah kredibilitas laporan keuangan
yang disajikan oleh manajemen.
4)
Jika akuntan publik tidak independen maka pendapat yang dia berikan
tidak mempunyai arti atau tidak mempunyai nilai.
5)
Independensi merupakan martabat penting akuntan publik yang secara
berkesinambungan perlu dipertahankan.
Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas auditnya, seorang auditor tidak
hanya dituntut untuk memiliki keahlian saja, tetapi juga dituntut untuk
bersikap independen. Walaupun seorang auditor mempunyai keahlian tinggi, tetapi
dia tidak independen, maka pengguna laporan keuangan tidak yakin bahwa
informasi yang disajikan itu kredibel.
Independensi secara esensial merupakan sikap pikiran seseorang yang
dicirikan oleh pendekatan integritas dan obyektivitas tugas profesionalnya. Hal
ini senada dengan America Institute of Certified Public Accountant (AICPA)
dalam Meutia (2004) menyatakan bahwa independensi adalah suatu kemampuan untuk
bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Meskipun integritas dan
objektivitas tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal
yang mendasar bagi profesi akuntan publik. Integritas merupakan prinsip moral
yang tidak memihak, jujur, memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya.
Di lain pihak, objektivitas merupakan sikap tidak memihak dalam
mempertimbangkan fakta, kepentingan pribadi tidak terdapat dalam fakta yang
dihadapi (Mulyadi, 2002). Selain itu AICPA dalam Meutia (2004) juga memberikan
prinsip-prinsip berikut sebagai panduan yang berkaitan dengan independensi,
yaitu sebagai berikut.
1)
Auditor dan perusahaan tidak boleh tergantung dalam hal keuangan
terhadap klien.
2)
Auditor dan perusahaan seharusnya tidak terlibat dalam konflik kepentingan
yang akan mengangggu obyektivitas mereka berkenaan dengan cara-cara yang
mempengaruhi laporan keuangan.
3)
Auditor dan perusahaan seharusnya tidak memiliki hubungan dengan klien
yang akan menganggu obyektivitasnya auditor.
Dalam aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik disebutkan bahwa dalam
menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental
independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam
Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental
independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance) (Amani dan Sulardi, 2005).
Peraturan Pasar Modal dan Regulator
mengenai independensi akuntan publik
Pada tanggal 28 Pebruari 2011, Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) telah menerbitkan peraturan
yang mengatur mengenai independensi akuntan yang memberikan jasa di pasar
modal, yaitu dengan berdasarkan Peraturan Nomor VIII.A.2 lampiran Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-86/BL/2011 tentang Independensi Akuntan Yang
Memberikan Jasa di Pasar Modal.
Seperti yang disiarkan dalam Press Release Bapepam LK pada tanggal 28 Pebruari 2011, Peraturan Nomor VIII.A.2 tersebut merupakan penyempurnaan atas peraturan yang telah ada sebelumnya dan bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi Kantor Akuntan Publik atau Akuntan Publik dalam memberikan jasa profesional sesuai bidang tugasnya. Berikut adalah keputusannya :
Seperti yang disiarkan dalam Press Release Bapepam LK pada tanggal 28 Pebruari 2011, Peraturan Nomor VIII.A.2 tersebut merupakan penyempurnaan atas peraturan yang telah ada sebelumnya dan bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi Kantor Akuntan Publik atau Akuntan Publik dalam memberikan jasa profesional sesuai bidang tugasnya. Berikut adalah keputusannya :
KEPUTUSAN KETUA BADAN
PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR: KEP- 20 /PM/2002
TENTANG
INDEPENDENSI AKUNTAN YANG
MEMBERIKAN JASA AUDIT
DI PASAR MODAL
Pasal 1
Ketentuan mengenai Independensi Akuntan yang
Memberikan Jasa Audit di Pasar Modal, diatur dalam
PERATURAN NOMOR VIII.A.2 : INDEPENDENSI AKUNTAN YANG
MEMBERIKA JASA AUDIT DI PASAR MODAL:
1. Definisi dari istilah-istilah
pada peraturan ini adalah :
a. Periode Audit dan Periode Penugasan
Profesional :
1) Periode Audit adalah periode yang mencakup
periode laporan keuangan yang diaudit atau yang direview; dan
2) Periode Penugasan Profesional adalah periode
penugasan untuk mengaudit atau mereview laporan keuangan klien atau untuk
menyiapkan laporan kepada Bapepam.
b. Anggota Keluarga Dekat adalah istri atau
suami, orang tua, anak, baik didalam maupun diluar tanggungan, dan saudara
kandung.
c. Fee Kontinjen adalah fee yang ditetapkan untuk
pelaksanaan suatu jasa profesional yang hanya akan dibebankan apabila ada
temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil
tertentu tersebut. Fee dianggap tidak kontinjen jika ditetapkan oleh pengadilan
atau badan pengatur atau dalam hal perpajakan, jika dasar penetapan adalah
hasil penyelesaian hukum atau temuan badan pengatur.
d. Orang Dalam Kantor Akuntan Publik adalah:
1) Orang yang termasuk dalam Tim Penugasan Audit
yaitu sema rekan, pimpinan, dan karyawan profesional yang berpartisipasi dalam
audit, review, atau penugasan atestasi dari klien, termasuk mereka yang
melakukan penelaahan lanjutan atau yang bertindak sebagai rekan ke dua selama
Periode Audit atau penugasan atestasi tentang isu-isu teknis atau industri
khusus, transaksi, atau kejadian penting;
2) Orang yang termasuk dalam rantai
pelaksana/perintah yaitu semua orang yang:
a) mengawasi atau mempunyai tanggung jawab
manajemen secara langsung terhadap audit;
b) mengevaluasi kinerja atau merekomendasikan
kompensasi bagi rekan dalam penugasan audit; atau
c) menyediakan pengendalian mutu atau pengawasan
lain atas audit; atau
3) Setiap rekan lainnya, pimpinan, atau karyawan
profesional lainnya dari Kantor Akuntan Publik yang telah memberikan
jasa-jasa non audit kepada klien.
e. Karyawan Kunci yaitu orang-orang yang
mempunyai wewenang dan tanggung jawabuntuk merencanakan, memimpin, dan
mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota Komisaris,
anggota Direksi, dan manajer dari perusahaan.
2. Jangka waktu Periode Penugasan Profesional:
a. Periode Penugasan Profesional dimulai sejak
dimulainya pekerjaan lapangan atau penandatanganan penugasan, mana yang lebih
dahulu.
b. Periode Penugasan Profesional berakhir pada
saat tanggal laporan Akuntan atau pemberitahuan secara tertulis
oleh Akuntan atau klien kepada Bapepam bahwa penugasa telah selesai,
mana yang lebih dahulu.
3. Dalam memberikan jasa profesional, khususnya
dalam memberikan opini atau penilaian, Akuntan wajib senantiasa
mempertahankan sikap independen. Akuntan tidak independen apabila
selama Periode Audit dan selama Periode Penugasan Profesionalnya,
baik Akuntan, Kantor Akuntan Publik, maupun Orang Dalam
Kantor Akuntan Publik :
a. mempunyai kepentingan keuangan langsung atau
tidak langsung yang material pada klien, seperti :
1) investasi pada klien; atau
2) kepentingan keuangan lain pada klien yang
dapat menimbulkan bentura kepentingan.
b. mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien,
seperti :
1) merangkap sebagai Karyawan Kunci pada klien;
2) memiliki Anggota Keluarga Dekat yang bekerja
pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi dan keuangan;
3) mempunyai mantan rekan atau karyawan
profesional dari Kantor Akuntan Publik yang bekerja pada klien
sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi dan keuangan, kecuali setelah
lebih dari 1 (satu) tahun tidak bekerja lagi pada Kantor
Akuntan Publik yang bersangkutan; atau
4) mempunyai rekan atau karyawan profesional dari
Kantor Akuntan Publik yang sebelumnya pernah bekerja pada klien
sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi dan keuangan, kecuali yang
bersangkutan tidak ikut melaksanakan audit terhadap klien tersebut dalam
Periode Audit.
c. mempunyai hubungan usaha secara langsung atau
tidak langsung yang material dengan klien, atau dengan karyawan kunci yang
bekerja pada klien, atau dengan pemegang saham utama klien. Hubungan usaha
dalam butir ini tidak termasuk hubungan usaha dalam hal Akuntan,
Kantor Akuntan Publik, atau Orang Dalam
Kantor Akuntan Publik memberikan jasa audit atau non audit kepada
klien, atau merupakan konsumen dari produk barang atau jasa klien dalam rangka
menunjang kegiatan rutin.
d. memberikan jasa-jasa non audit kepada klien
seperti :
1) pembukuan atau jasa lain yang berhubungan
dengan catatan akuntansi klien;
2) atau laporan keuangan;
3) desain sistim informasi keuangan dan
implementasi;
4) penilaian atau opini kewajaran (fairness
opinion);
5) aktuaria;
6) audit internal;
7) konsultasi manajemen;
8) konsultasi sumber daya manusia;
9) konsultasi perpajakan;
10) Penasihat Investasi dan keuangan; atau
11) jasa-jasa lain yang dapat menimbulkan
benturan kepentingan
e. memberikan jasa atau produk kepada klien
dengan dasar Fee Kontinjen atau komisi, atau menerima Fee Kontinjen atau komisi
dari klien.
4. Sistim Pengendalian Mutu
Kantor Akuntan Publik wajib
mempunyai sistem pengendalian mutu dengan tingkat keyakinan yang memadai bahwa
Kantor Akuntan Publik atau karyawannya dapat menjaga sikap
independen dengan mempertimbangkan ukuran dan sifat praktik dari
Kantor Akuntan Publik tersebut.
5. Pembatasan Penugasan Audit
a. Pemberian jasa audit umum atas laporan
keuangan klien hanya dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling
lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh
seorang Akuntan paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.
b.
Kantor Akuntan Publik dan Akuntan dapat menerima
penugasan audit kembali untuk klien tersebut setelah 3 (tiga) tahun buku secara
berturut-turut tidak mengaudit klien tersebut.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b di atas tidak berlaku bagi laporan keuangan interim yang diaudit
untuk kepentingan Penawaran Umum.
6. Ketentuan Peralihan
a. Kantor Akuntan Publik yang
telah memberikan jasa audit umum untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut atau
lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas
laporan keuangan klien, pada saat berlakunya peraturan ini hanya
dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya.
b. Akuntan yang telah memberikan jasa
audit umum untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih
mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan
klien, pada saat berlakunya peraturan ini hanya dapat melaksanakan
perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya.
7. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Bapepam berwenang mengenakan sanksi terhadap
setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar